SAKO, PUSAKO DAN SANGSOKO DI MINANGKABAU

SAKO, PUSAKO DAN SANGSOKO DI MINANGKABAU A. SAKO Sako artinya warisan yang tidak bersifat benda seperti gelar pusako. sako juga berarti asal, atau tua, seperti dalam kalimat berikut. Sawah banyak padi dek urang Lai karambia sako pulo Sako dalam pengertian adat Minangkabau adalah segala kekayaan asal atau harta tua berupa hak atau kekayaan tanpa wujud. Kekayaan yang in material ini disebut juga dengan pusako kebesaran seperti: 1. Gelar panghulu; 2. Garis keturunan dari ibu yang juga disebut dengan “Sako Induak”; perilaku atau pribawa yang diterima dari aliran darah sepanjang garis keturunan ibu juga di sebut soko. Istilah soko induak ini dipersamakan dengan istilah matrilinial; 3. Pepatah petitih 4. Pidato adat 5. Hukum adat; 6. Tata krama dan hukum sopan santun diwariskan kepada semua anak kemenakan dalam suatu nagari, dan kepada seluruh ranah Minangkabau. 7. Sifat perangai bawaan juga di sebut dengan soko Soko sebagai kekayaan tanpa wujud merupakan rohnya adat dan memegang peranan yang sangat menentukan dalam membentuk moralitas orang Silungkang dan kelestarian adat salingka nagari dan adat Minangkabau pada umumnya. B. PUSAKO Pusako atau Harato Pusako adalah segala kekayaan materi dan harta benda yang juga disebut dengan Pusako Harato. Yang termasuk Pusako Harato ini seperti : 1. Hutan tanah; 2. Sawah Ladang; 3. Kolam dan padang; 4. Rumah dan pekarangan; 5. Pandam perkuburan (Tanah perkuburan yang dimiliki oleh suku, oleh kaum, kampung ); 6. Perhiasan dan uang; 7. Balai mesjid dan surau 8. Peralatan dan lain-lain. 9. Banda buatan jo batang aie 10. Lambang kebesaran seperti keris baju kebesaran, soluak, deta dll Pusako ini merupakan jaminan utama untuk kehidupan dan perlengkapan bagi anak kamanakan di Minangkabau, terutama untuk kehidupan yang berlatar belakang kehidupan desa yang agraris. Perubahan kehidupan ekonomi ke arah industri dan usaha jasa dan berkembangnya kehidupan kota, maka peranan harta pusaka sebagai sarana penunjang kehidupan ekonomi orang-orang Minangkabau menjadi makin lama makin berkurang. Namun demikian peranan harta pusaka, sebagai simbol kebersamaan dan kebanggaan keluarga dalam sistem kekerabatan matirilinial di Minangkabau pada umumnya tetap bertahan. Harta pusaka sebagai alat pemersatu di Minangkabau tetap bertahan. Harta pusaka sebagai alat pemersatu keluarga, masih tetap berfungsi dengan baik namun sebaliknya harta pusaka sebagai milik kolektif tak jarang pula menjadi “Biang Keladi” dalam menimbulkan silang sengketa dalam keluarga Minang. Dengan demikian harta pusaka disamping berfungsi sebagai alat pemersatu, sekaligus juga berpotensi sebagai alat pemecah belah. Ketentuan adat mengenai barang sako dan Harato Pusako adalah sebagai berikut : Hak Bapunyo Hak berpunya Harato Bamiliak Harta bermilik Barang sah maupun Harato Pusako pada dasarnya dikuasai atau menjadi milik bersama-milik kolektif oleh kelompok-kelompok sebagai berikut : 1. Kelompok “Samande” atau “ seperinduaan” 2. Kelompok “Sajurai”sakaum 3. Kelompok “ Sasuku” 4. Kelompok “Nagari” Di Minangkabau tidak ada tanah yang terluang semuanya sudah berpunya dalam adat dikatakan tanah nan sabingka daun sahalai aie nan satitiak pasie nan sebuah seluruhnya adat nan punyo Harato Pusako (Harta Pusaka) terbagi dua sebagai berikut : 1. Harato Pusako Tinggi Yang dimaksud harato pusako tinggi ialah segala harta pusaka yang diwarisi secara turun temurun sesuai dengan pantun sebagai berikut : Biriak-biriak tabang kasasak Dari sasak turun ka halaman Dari niniak turun ka mamak Dari mamak turun ka kamanakan Proses pemindahan kekuasaan atas harta pusaka ini dari mamak ka kemenakan dalam istilah adat disebut juga dengan “ Pusako Basalin “ bagi harta pusaka tinggi berlaku ketentuan adat seperti pantun berikut : Tajua indak dimakan bali Tasando indak dimakan gadai Artinya : Terjual tidak bisa dibeli Agunan nan indak dapat digadai. Hal ini berarti bahwa harta pusaka tinggi tidak boleh dijual. Oleh karena harta pusaka tinggi sesungguhnya bukan diwariskan dari mamak kepada kemenakan, tetapi dari ande atau nenek kita, jadi harta pusako tinggi tidak saja milik kita yang hidup pada masa sekarang ini tetapi juga milik anak cucu kita, yang akan lahir seratus atau seribu tahun lagi, kita yang hidup sekarang wajib menjaga dan memelihara dan boleh memanfaatkannya, untuk kepentingan dan kehidupan kita saat sekarang, seperti mamang adat : aianyo buliah disauak, buahnya buliah di makan tanah jo buminya adat nan punyo di Minangkabau kita tidak lagi mempunyai Ulayat suku, yang ada hanya Ulayat kaum, Ulayat kaum ini tidak boleh di perjual belikan, tanah wilayat kaum ini di kuasai oleh mamak kepala kaum, dan dipakai serta di mamafaatkan oleh dunsanak nan padusi, apa bilah satu kelompok dari kaum yang memakai tanah itu punah, tanah itu kembali di mamfaatkan secara bersama oleh seluruh anggota kaum yang tertera di dalam ranji (silsilah) secara adat, kelompok yang punah itu tidak boleh menjual tanah itu karenah tanah itu bukan hakiki miliknya, tapi hanya hak pakai selagi keturununnya yang satu ranji masih ada, kalau suda tidak ada pula kaum yang satu ranji maka pusako berpinnda kepada kaum yang bertali adat kaum yang bertali adat inilah yang akan mempusokoinya. 2. Harato Pusako Randah Yang disebut dengan harta pusaka rendah adalah segala harta hasil pencarian dari bapak bersama ibu (orang tua kita) selama ikatan perkawinan, ditambah dengan pemberian,dan hasil pencaharian ongku bersama nenek kita dan pemberian mamak kepada kamanakannya dari hasil pencarian mamak dan tungganai itu sendiri. Harta pencaharian dari orang tua atau bapak bersama ibu ini, setelah diwariskan kepada anak-anaknya disebut dengan “ harta-susuk”. “harta-susuk” ini mempunyai potensi besar dimasa mendatang untuk menambah “ harta pusaka tinggi” di Minangkabau, baik di RanahMinang sendiri, lebih-lebih di rantau. Bila harta pusaka diluar Ranah Minang dapat dinaikkan statusnya menjadi harta pusaka tinggi yang tidak boleh dijual atau dipindah tangankan diluar orang “ sasuku”, maka akan bertambah luaslah harta pusaka tinggi milik orang Minangkabau di perantauan. C. SANGSOKO Sangsoko ialah gelar kebesaran yang diberikan oleh raja, olek lembaga kerapatan kepada suatu nagari atau suku atau perorangan oleh karena jasa-jasanya kepada nagari, suku dll Sifat sangsoko ini tidak turun temurun tapi berpindah- pindah dari pejabat yang satu kepada pejabat yang lain menurut hasil musyawara dan mufakat oleh P. Andiko di dalam suku bersangkutan atau hasil musyawarah penghulu-penghulu dalam nagari untuk yang bersifat nagari. Tetapi perpindahan ini selalu menurut ketentuan adat pula seperti : Sangsoko pakai memakai Manuruik barih balabeh Gelar ini bisa saja berpindah-pindah dari suatu lingkungan cupak kepada lingkungan cupak yang lain, dan penempatan gelar sangsoko ini senantiasa dilandaskan kepada kata mufakat, dan menurut mungkin dan patut. Di daerah Minangkabau dikenal juga “adat nan diadatkan dan adat nan teradat” adat nan diadatkan adalah kaidah, peraturan, ajaran , undang-undang dan hukum yang ditetapkan atas dasar “bulat mufakat” (kesepakatan) para penghulu tua-tu a adat cerdik pandai dalam Majelis kerapatan adat atas dasar al ur dan patut. Ketentuan ini dapat berubah menurut keadaan tempat dan waktu oleh karena lain negeri lain pa ndangannya tentang alur dan patut, maka sifat adat nan diadatkan itu “ lain padang lain belalang, lain lubuk lain ikannya ”. Adat nan teradat adalah kebiasaan tingkah laku yang dipakai karena tiru meniru di antara anggota masyarakat karena perilaku kebiasaan itu sudah terbiasa dipakai, maka dirasakan tidak baik ditingga lkan, misalnya dikalangan orang Minangkabau sudah teradat apabila ada kaum kerabat yang meninggal atau untuk menyambut tamu agung mereka berdatangan de ngan berpakaian berwarna hitam. Bahwa Apabila didalam Suatu Kaum Tidak ada Lelaki lagi Maka Pengelolaan Terhadap Harta Pusaka Tinggi Kaum Di Lakukan Oleh Wanita dengan Sebutan MAMAK KEPALA HINDU.

Posting Komentar

0 Komentar